Fitrahnya Manusia Adalah Bahagia, dan Fitrah Alam Dapat Memenuhi Kebutuhan Hidup Manusia (Menjadi Manusia Sosial Yang Bahagia)
PROSA TERUSIR
Oleh: Victor Zapata
Mengingat patuah masa muda; "pergi Belanda, datang Jepang. Pergi Jepang datang kemerdekaan republik. Soekarno jatuh, muncul orde baru kekuasaan Harto, jatuh Soeharto datang reformasi. Soeharto jatuh, reformasi datang, bersamaan dengan NHM, ANTAM, dan SELURUH ANAK-ANAK CABANG GURITA PERUSAHAANNYA.
Hijau alam, tanah subur, bukti gunung nan-hijau, pohon rimbun, bumi memberikan berkah kehidupan, didalam rimbah ada manusia baik hati, beradab, dan tak merusak alam---namun mereka terusir, lalu meratap kesunyian kelam.
Sumpah, ini semua berubah jadi merah---murka, tanah merah, semua terampas, dan hujan menjadi laknat terhadap anak cucu patuah, airnya yang mengasihi tanah, manusia, pohon, dan segala isi bumi---tapak manusia mengabulkan keinginan spritualitas batiniah, rohaniah jadi air batu mata lukanya. Kini, yang ada kampung berdekatan dengan lampu-lampu NHM dan seluruh pertambangan; layak seperti Tetanic---yang mati tenggelam dalam samudera raya.
Tak tersisa, dan patuah akan mengunyah sabda kampungnya dengan sisa-sisa ritual penyesalan, penyelamatan, padahal jadi kosong tak berdaya. Merasa bersalah [jadi nostalgia] sayup-sayup mengingkari kesalahannya---karena khianat terhadap alamnya, adatnya, saudaranya, seluh hak manusiawi. Dan anak-anak muda sebelumnya, dahulu kala pernah bersama NHM dan PERTAMBANGAN LAINNYA memangsa saudaranya sendiri.
Sedih, lalu apa boleh buat, sebuah khianat memulai kekalahan panjang---beban pada anak cucu hari ini. Mereka pernah menghalangi massa menolak pembangunan orang asing yang datang mengeruk kekayaan dan mendustakan semua janji kesejahteraan. Lapangan kerja, lapangan kerja, lapangan kerja, adalah seperti cermin kaca memantulkan hasil sejarahnya, yang benar adalah pengangguran, dan mendapatkan recehan-recehan menetes kebawah, saling bunuh-bunuhan, itupun diambil dari sebagian besar elit lokal, termasuk patuah dan anak muda khianat.
Kami, tak akan nyerah, kami akan tetap mengakui kesalahan dan kekalahan, namun; kami terhormat karena melawan. Tentu, kami takzimi, bahwa; melawan belum tentu kalah!
Komentar
Posting Komentar